Mengungkap Makna Tradisi Perak Api Mayarakat Embung Dalem bersama Papuk Cobet
Sebenarnya, tulisan ini sudah lama, ini dibuat saat masih kuliah. Salah satu dosen Mata Kuliah pendidikan multikultural meminta kami untuk membuat sebuah paper tentang tradisi yang masih di sekitar lingkungan tempat tinggal. Yuk mari kita simak !
Tradisi adalah salah
satu bagian dari budaya. Tradisi dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah
dilakukan dalam waktu yang lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi
bukan suatu hal yang tertulis dan terjadi (ada) melalui proses kesepakatan,
namun tradisi ada seakan diwariskan oleh nenek moyang secara turun-temurun
menurut pengalaman dan kepercayaannya .
Setiap kelompok orang
atau suku tertentu pasti memiliki tradisi yang berbeda. Suku Sasak misalnya,
suku kecil yang mendiami pulau Lombok ini memiliki berbagai macam tradisi,
mulai tradisi dari lahirnya seorang anak sampai tradisi pasca meninggalnya
orang dalam suku sasak. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk tradisi yang
dilakukan setelah seorang anak dilahirkan. Ini dikarenakan suku Sasak memiliki
beberapa ragam dialeq, sehingga istilah-istilahnya pun berbeda. Beberapa
istilah tersebut adalah perak api
atau pedaq api dan molang-maling.
A.
Pengertian
dan Tujuan Perak Api
Berikut adalah hasil wawancara dengan Papuk Cobet.
Perak api adalah suatu
ritual pada ibu dan anak yang dilakukan setelah putusnya tali pusar dari anak
yang baru lahir. Tradisi ini biasanya dilakukan pada hari ke-tujuh atau hari
ke-sembilan untuk wanita yang baru pertama kali melahirkan. Perak api berasal
dari bahasa sasak yaitu perak yang
berarti memadamkan, dan api. Karena dalam tradisi suku Sasak, seorang ibu yang
baru melahirkan diharuskan untuk berupu
(bahasa sasak) yang berarti menghangatkan tubuh dari asap kayu kesambiq yang ditutup dengan menggunakan
tikar yang terbuat dari daun pandan. Tradisi ini dilakukan selama tujuh atau
Sembilan hari.
Tujuan dari tradisi ini
adalah untuk mengakhiri kegiatan berupu
yang dilakukan oleh sang ibu, memberikan nama pada sang anak, dan melakukan
acara syukuran disertai dengan zikiran. Ada juga beberapa orang yang melakukan
tradisi ini disertai dengan aqiqah maupun acara ngurisan (memotong rambut sang anak). Adapun tujuan lain dari
tradisi ini yang dipercayai oleh masyarakat Sasak adalah dengan melaksanakan
tradisi ini, ibu yang baru melahirkan tersebut akan terhindar dari berbagai
macam penyakit.
B. Perlengkapan yang
digunakan dalam upacara perak api
.Setelah putusnya tali
pusar sang bayi, keluarga dari sang ibu
yang melahirkan itu akan memanggil belian
(dukun beranak) untuk mempersiapkan bahan yang akan digunakan dalam upacara
tersebut.
Adapun perlengkapan yang digunakan
adalah :
1.
9 buah Kudung
Kudung yaitu sebuah wadah berbentuk persegi yang dibuat agak bulat yang dibuat dari anyaman pohon
bambu. Kudung yang
digunakan mempunyai ukuran berbeda-beda.
-
1 buah kudung
inti atau disebut kudung inak yang
berukuran paling besar yang berisi beras, benang putih dari kapas yang dibentuk melingkar, daun sirih, buah pinang, dan uang sebanyak 30 ribu rupiah
-
1 buah kudung yang disebut kudung angkat beak yang
ukurannya lebih kecil dari kudung
inti yang berisi beras, benang dan uang sebanyak 20 ribu rupiah.
-
7 buah kudung kecil yang berisi beras, benang
dan uang masing-masing sebanyak 15 ribu rupiah.
2.
Rebusan kunyit, jahe, gula merah, jeruk nipis sebagai minuman sang ibu bayi
3.
Sengeh bajang atau rempah-rempah yang ditumbuk halus
untuk beboreh atau dioleskan pada
tubuh sang ibu bayi
4.
Benang putih dan jeringo
5.
Tepak atau wadah untuk meletakkan bara api
6.
Daun bikan, jonjok
mari, pusuk pandan, daun bunut (beringin), daun kesambik.
7.
Aik rendem (air nasi yang direndam)
C. Prosesi
pelaksanaan perak Api
Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam prosesi perak api
1.
Belian menyiapkan bara api
yang terbuat dari serabut kelapa dan ditaburi kemenyan dari daun lemundi (sejenis tumbuhan perdu).
2.
Bara api tersebut
kemudian ditutup dengan daun bikan,
jonjok mari, pusuk pandan, daun
bunut, dan daun kesambik yang telah direndam di air rendem. Inilah yang dinamakn upacara perak api.
3.
Ibu sang bayi menggunakan kain
secara bekemben (kain sampai batas dada), sambil menggendong
bayinya dan berdiri ngangkang di atas bara api dengan memutar bayinya
sembilan kali diatas asap api tersebut. Saat itu juga belian memberikan do’a atau
mantra-mantra.
4.
Kemudian sang ibu menyembe’ dan
menjam-jam (mendoakan sang bayi menurut kehendak sang ibu). Hal ini dilakukan apabila tali pusar si bayi telah kering dan
terlepas dari pusarnya.
5.
Kemudian sang ibu
dimandikan oleh belian.
6.
Setelah dimandikan, belian memboreh
sang ibu dengan boreh yang sudah
diramu atau dihaluskan, dan diberi do’a oleh belian. Kemudian meminum ramuan yang telah dibuat oleh belian.
7.
Tradisi beteken adalah
proses pemasangan gelang untuk bayi dan ibunya, tepatnya ketika perak api (putus
tali pusar). Yang dipasangkan oleh belian nganak. Bertujuan
agar si bayi tidak diganggu oleh makhluk halus seperti bakeq bera’,
selaq,maupun jim siluman, yang merupakan makhluk halus
yang sering mengganggu anak bayi. Bayi dipasangkan
benang di kedua pergelangan tangan, kedua pergelangan kaki dan pinggang.
Sedangkan sang ibu dipasangkan dipergelangan tangan kanan, ibu jari dan
dirambut sebagai pengganti tutup kepala.
8.
Upacara terahir yaitu
pemberian nama sang bayi. Pemberian nama yang biasa digunakan pada masyarakat
dusun Embung Dalem yaitu dengan cara menulis dua nama pada kertas yang berbeda
kemudian digulung dan setiap gulungan kertas ditaruh pada genggaman sang bayi.
Jika salah satu gulungan itu dilepas oleh sang bayi maka nama itu dianggap
dibuang dan bayi itu tidak menyukainyainya. Sehingga nama yang masih digenggam
itulah nama pilihan sang bayi. Jadi setelah itu orang tua si bayi akan di
panggil inak atau amak diikuti nama panggilan bayi pertamanya. Misal si bayi
bernama Zulkarnaen dan panggilannya Zul maka orang tuanya dipanggil Inaq Zul
dan Amaq Zul.
9.
Upacara perak api juga
sering digabung dengan acara aqikah dimana acara ini yaitu sejenis acara
sukuran, jika bayi itu keturunan orang mampu maka orang tuanya akan
menyembelihkan kambing tetapi jika orang tuanya kurang mampu sukurannya hanya
sekedar zikiran biasa.
Dalam penjelasan bagaimana proses pembuatan teken alias
benang sebagai gelang, memang terdapat sedikit perbedaan terutama dalam warna
yang digunakan. Namun ada salah satu hal yang menarik, yaitu penggunaan jeringo dalam
pembuatan gelang tersebut.
Jeringo (Sasak),Jeringau adalah tumbuhan
terna yang rimpangnya dijadikan bahan obat-obatan. Jeringau merupakan tumbuhan
air, habitatnya di tempat yang basah, tumbuh liar di pinggiran sungai,
rawa-rawa maupun lahan yang tergenang air sepanjang tahun. Tumbuhan ini
berbentuk mirip rumput atau sepintas mirip pandan, tetapi tinggi, daunnya lebih
kecil daripada pandan, tumbuh lurus seperti pedang, warna daun hijau tua dan
permukaannya licin. Batang tanaman berada dalam lumpur berupa rimpang dengan
akar serabut yang besar-besar.
Manfaat tradisi beteken dibagi
menjadi 3 bagian :
1)
Sisi
pandang secara mitos atau kepercayaan.
-
Sebagai
pelindung si bayi dari gangguan makhlus halus.
-
Diyakini dapat
mengusir makhluk halus.
-
Warna hitam dari
benang, memiliki filosofi untuk melawan kekuatan hitam atau gangguan roh jahat.
-
Aroma jeringau yang
keras, diyakini dapat menakuti makhluk ghaib, agar tidak berani mendekat.
-
Agar si bayi merasa
betah, nyaman, dan tidak rewel.
-
Orang tua merasa aman
untuk membawa si bayi bepergian, karena dengan memakai gelang tersebut,
diyakini dapat menjadi pelindung si bayi.
-
Penolak bala.
-
Agar bayi cepat besar.
2) Menurut
Kesehatan.
-
Sebagai obat
tradisional.
-
Aroma rimpang jeringo
dapat menjadi aroma terapi, karena memang berfungsi sebagai obat tradisional.
-
Untuk embet (gelang
yang ada di pinggang), berkhasiat agar bayi tidak terlalu sering buang air
kecil maupun buang air besar.
3) Menurut
sisi moral.
-
Bentuk kasih sayang
orang tua terhadap anaknya.
-
Wujud pelestarian
tradisi.
-
Menaruh keyakinan
dalam sugesti positif akan kekuasaan Sang Pencipta.
Adapun pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu yang baru
melahirkan sebelum 44 hari atau selama masa nifas atau dalam suku sasak dikenal
dengan sebelum genep.
-
Tidak boleh memakan
kacang-kacangan yang keras karena mengunyah makanan yang keras dapat
menyebabkan sakit kepala.
-
Harus mengikat
pinggang supaya darah putih tidak naik ke kepala
-
Tidak boleh berbicara
nyaring
-
Tidak boleh menyapu
memakai sapu lidi dll.
Sangat unik bukan ? Banyak sekali ragam tradisi yang kita miliki tetapi hampir semua punah. Mungkin anak cucu kita nanti tidak akan tahu apa itu tradisi ini. So its make me for sharing. supaya kelak anak-anak itu tau apa saja tradisi nenek moyangnya.
Komentar
Posting Komentar